Krakatau Posco | Berita & Kegiatan -

Contact
© 2019 Krakatau Posco

article thumb

Membangun Pilar Baru Economic Security: Kuota Impor untuk Kemandirian Industri Baja Nasional

Gelombang proteksionisme global kembali menguat setelah Uni Eropa mengumumkan rencana memangkas kuota impor baja hampir separuh dan mengenakan tarif 50 persen di atas batas kuota mulai tahun depan. Kebijakan yang diusulkan Komisi Eropa ini dimaksudkan untuk menggantikan mekanisme safeguard yang akan kedaluwarsa pada 2026 dan menjadi respons terhadap langkah Amerika Serikat di bawah pemerintahan Trump yang kembali menaikkan tarif baja dengan alasan keamanan nasional. Langkah ini menandai pergeseran arah kebijakan Eropa menuju pendekatan economic security yang menempatkan perlindungan industri sebagai bagian integral dari kepentingan ekonomi kawasan.

Kebijakan baru Uni Eropa menandai perubahan besar dalam arah perdagangan dunia. Dulu, Eropa dan Amerika Serikat menjadi simbol pasar bebas. Kini keduanya justru memperkuat proteksi karena tanpa pembatasan impor, industri strategis mereka tak akan mampu bertahan menghadapi arus baja murah dari Tiongkok. Jika negara maju saja harus melindungi industrinya, bagaimana dengan Indonesia yang masih membangun fondasi kemandirian industrinya sendiri?

Dari Trade Remedies ke Economic Security

Selama dua dekade terakhir, trade remedies seperti anti-dumpingcountervailing duties, dan safeguard measures menjadi perangkat utama berbagai negara dalam menghadapi praktik perdagangan tidak adil. Namun pengalaman menunjukkan bahwa mekanisme ini tidak lagi memadai untuk menghadapi gelombang ekspor murah dari Tiongkok. Prosesnya panjang, membutuhkan pembuktian rinci tentang adanya dumping, subsidi, atau lonjakan impor, sementara hasilnya sering baru berlaku ketika kerugian industri domestik sudah terjadi. Karena itu, banyak negara kini beralih ke instrumen yang lebih cepat, fleksibel, dan efektif dalam menjaga pasar domestik — yaitu kuota impor berbasis security exception, yang memberi ruang bagi pemerintah untuk bertindak tanpa menunggu hasil investigasi.

Dalam sistem WTO, kuota diakui dalam dua bentuk. Kuota berbasis safeguard diatur dalam Pasal XIX GATT 1994 dan Agreement on Safeguards, tetapi bersifat sementara dan hanya dapat diterapkan bila terdapat bukti lonjakan impor yang menimbulkan kerugian serius bagi industri domestik. Sebaliknya, kuota berbasis security exception merujuk pada Pasal XXI GATT 1994, yang memberi hak bagi negara untuk mengambil langkah apa pun yang dianggap perlu guna melindungi kepentingan keamanan esensialnya — termasuk yang berkaitan dengan stabilitas ekonomi dan sektor-sektor yang dipandang vital bagi ketahanan nasional. Kuota jenis ini bersifat preventif dan permanen, memungkinkan negara membatasi impor tanpa harus membuktikan adanya kerugian terlebih dahulu.

Keunggulan utama kuota berbasis security exception dibandingkan trade remedies terletak pada kecepatan dan kepastian penerapannya. Jika trade remedies bergantung pada investigasi panjang dan baru efektif setelah industri mengalami kerugian, kuota dapat diterapkan secara preventif sejak awal periode perdagangan. Kuota juga memberikan kepastian bagi pelaku industri karena batas volume dan tarifnya ditentukan di muka, sehingga produsen dapat merencanakan kapasitas dan investasi dengan lebih stabil. Pemerintah pun dapat menyesuaikan volume impor tahunan sesuai kebutuhan industri nasional tanpa harus membuka kasus baru atau melalui proses hukum yang rumit.

Gelombang Baru Perlindungan Industri

Amerika Serikat menjadi pelopor penerapan kuota berbasis keamanan nasional secara eksplisit melalui Section 232 of the Trade Expansion Act. Kebijakan ini menaikkan tarif baja hingga 50 persen dengan alasan national security dan menetapkan kuota tetap bagi sejumlah negara. Langkah ini tidak dilakukan dalam kerangka trade remedies, melainkan sebagai kebijakan economic security untuk memastikan kapasitas industri baja domestik tetap berada pada tingkat yang dianggap penting bagi pertahanan nasional. Dalam konteks WTO, kebijakan ini menjadi preseden nyata bagi negara lain untuk memadukan kepentingan industri dengan kepentingan strategis negara.

Uni Eropa kini mengikuti arah serupa, meskipun awalnya masih beroperasi dalam kerangka hukum safeguard. Melalui kebijakan tariff rate quota (TRQ) yang pertama kali diterapkan pada 2018, Eropa menahan limpahan impor setelah tarif AS diberlakukan. Awalnya bersifat sementara, kebijakan ini terus diperpanjang dan kini diusulkan untuk diperketat hingga memangkas hampir separuh jatah impor dengan tarif 50 persen di atas batas kuota. Proposal ini secara terbuka dijustifikasi sebagai bagian dari Steel and Metals Action Plan, yang menempatkan perlindungan industri baja sebagai elemen penting dari economic security dan strategic autonomy. Artinya, Eropa sedang bergerak menuju sistem perlindungan permanen yang berlandaskan keamanan ekonomi — mengikuti preseden AS namun dengan kerangka hukum yang disesuaikan.

Fenomena ini menunjukkan pergeseran besar dalam arah perdagangan dunia — dari sekadar perlindungan industri menuju strategi economic security. Negara-negara besar kini memandang kebijakan industri sebagai bagian dari pertahanan nasional, di mana kekuatan ekonomi menjadi fondasi utama kedaulatan nasional.

Menata Langkah ke Depan untuk Indonesia

Struktur pasar baja Indonesia masih rapuh dan terlalu terbuka. Tidak ada mekanisme kuota yang mengatur arus impor, sementara instrumen perlindungan yang ada baru efektif setelah kerugian terjadi dan hanya mencakup sebagian kecil produk. Data tahun 2024 mencatat ekspor baja Indonesia mencapai USD 25,80 miliar, sementara impor sebesar USD 10,73 miliar, menghasilkan surplus USD 15,07 miliar. Namun surplus ini menyesatkan bila dibaca sepintas. Hampir seluruh ekspor berasal dari stainless steel berbasis nikel yang dikuasai investasi Tiongkok, sedangkan baja karbon — tulang punggung kebutuhan nasional untuk konstruksi dan manufaktur — terus tertekan oleh banjir impor dari Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan. Utilisasi kapasitas industri baja karbon nasional pada beberapa segmen hanya sekitar 50–60 persen akibat derasnya arus impor.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pasar baja nasional belum memiliki pagar kebijakan yang mampu menahan tekanan impor secara cepat dan menyeluruh. Trade remedies seperti anti-dumping dan safeguard memang tersedia, tetapi prosesnya panjang dan cakupannya terbatas. Indonesia membutuhkan instrumen yang lebih cepat dan efektif. Kuota impor berbasis economic security menjadi pilihan paling tepat untuk mengendalikan arus impor sesuai kapasitas industri nasional.

Sistem tariff rate quota seperti yang digunakan Uni Eropa bisa menjadi pilihan realistis. Dalam skema ini, impor hingga batas tertentu tetap bebas tarif untuk memenuhi kebutuhan industri hilir, sementara volume di atas kuota dikenai bea masuk tinggi. Dengan cara ini, pasar tetap terbuka tetapi memiliki pagar yang jelas untuk menjaga stabilitas industri hulu. Kuota tidak dimaksudkan untuk menutup perdagangan, melainkan menata keseimbangan antara kebutuhan industri dalam negeri dan keberlanjutan kapasitas produksi nasional.

Dengan strategi seperti itu, Indonesia justru mengikuti praktik terbaik yang kini diterapkan negara-negara besar dalam menjaga stabilitas industrinya di tengah perubahan arsitektur perdagangan global. Dunia telah berubah. Amerika Serikat dan Uni Eropa kini menegaskan bahwa kedaulatan ekonomi hanya dapat dijaga melalui kendali yang tegas atas pasar. Indonesia pun perlu mengambil sikap serupa. Kuota impor baja berbasis economic security adalah instrumen kepentingan nasional untuk melindungi industri strategis yang dimilikinya.

 

Author: Widodo Setiadharmaji

Original Source: https://steel-mining-policy.id/membangun-pilar-baru-economic-security-kuota-impor-untuk-kemandirian-industri-baja-nasional/