Krakatau Posco | News & Events -

Contact
© 2019 Krakatau Posco

article thumb

IMPOR BAJA HR PLATE BANJIR

Tingkat utilisasi produsen baja dalam negeri khususnya Hot Rolled Plate/HR Plate hanya di bawah 50%, di mana porsi impor masih cukup dominan dalam pemenuhan kebutuhan nasional yang seharusnya dapat dipenuhi oleh produsen dalam negeri.

Industri baja nasional optimis dapat memenuhi kebutuhan baja dalam negeri dengan meningkatkan kapasitas produksinya sebagai upaya untuk memperkuat daya saing industri baja nasional dan meminimalisir importasi yang terus membanjiri pasar dalam negeri. Dihimpun dari data The South East Asia Iron and Steel Institute (SEAISI) pada tahun 2018, jumlah importasi baja di Indonesia mencapai 7,6 juta ton dan di semester I 2019 masih terus mengalami peningkatan. Bahkan komoditas besi dan baja tercatat sebagai komoditi impor terbesar ke-3, yaitu sebesar 6,45% dari total importasi dengan nilai 10,25 Milyar USD (Badan Pusat Statistik, 2018).

Chairman Asosiasi Besi dan Baja Nasional (The Indonesian Iron and Steel Industry Association/IISIA), Silmy Karim mengungkapkan apresiasi yang tinggi terhadap dukungan pemerintah selama ini kepada industri baja nasional. “Apresiasi yang tinggi kami sampaikan kepada pemerintah yang telah memberikan dukungan dalam mendorong peningkatan daya saing melalui investasi pengembangan fasilitas produksi baja di Indonesia serta dalam mendukung upaya kami menanggulangi membanjirnya produk baja impor yang masuk ke pasar dalam negeri khususnya dengan praktek unfair trade (dumping) melalui penerapan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Perdagangan (Safeguard)”, ungkapnya.

Berkenaan dengan praktek dumping, produsen HR Plate nasional saat ini tengah melakukan upaya perpanjangan/Sunset Review atas pengenaan BMAD HR Plate dari Negara Republik Rakyat Tiongkok, Singapura, dan Ukraina. Berdasarkan Laporan Akhir Hasil Penyelidikan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), ketiga negara tersebut terbukti masih melakukan praktek dumping dalam importasi produk HR Plate, oleh karenanya KADI merekomendasikan perpanjangan atas kasus ini selama 5 tahun dengan nilai BMAD atas RRT adalah 10,47%, Ukraina 12,33%, dan Singapura 12,50%. Proses perpanjangan atas pengenaan BMAD tersebut, saat ini masih dalam tahap menunggu penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Produsen HR Plate Nasional berharap, penetapan tersebut dapat segera ditetapkan tanpa pengecualian, termasuk pengenaan BMAD atas produk plate baja impor yang masuk ke kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Batam.

Kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Batam menjadi salah satu celah masuknya baja impor khususnya produk HR Plate. Silmy menyampaikan bahwa plate baja impor yang masuk ke Batam tidak dikenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 50/PMK.010/2016 tentang Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping Terhadap Impor Produk Hot Rolled Plate (HRP) dari Negara Republik Rakyat Tiongkok, Singapura, dan Ukraina. Hal tersebut tidak sejalan dengan Explanatory Notes WTO Agreement yang menyatakan bahwa BMAD berlaku di suatu negara termasuk di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Lebih lanjut menurut Silmy,
berdasarkan hukum perdagangan internasional, suatu negara tidak diperkenankan melakukan perlakuan khusus terhadap pengenaan trade remedies, namun harus mengedepankan equal treatment terhadap wilayah lainnya yang termasuk dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


“Wilayah Batam merupakan wilayah yang termasuk dalam NKRI dan saat ini kondisi yangdirasakan adalah adanya perlakuan khusus terhadap wilayah Batam (tidak dikenakannya BMAD) dan menjadi celah masuknya hasil produksi Batam seperti halnya kapal, pipa dan fabricator product ke wilayah Indonesia lainnya dengan harga murah yang mengakibatkan industri galangan kapal di luar Batam dan industri hilir lainnya tidak dapat bersaing dan terancam mengalami kebangkrutan, padahal produsen baja domestik sudah dapat mencukupi pemenuhan permintaan dalam negeri untuk produk HR Plate baik secara kualitas maupun kuantitas”, ujar Silmy. Menurutnya, langkah yang perlu segera dilakukan atas tindakan perdagangan yang tidak fair tersebut antara lain dengan melakukan revisi atas penjelasan pasal 14 PP No. 10 Tahun 2012, sehingga bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan dapat diberlakukan di wilayah Batam dan wilayah perdagangan bebas lainnya.


Silmy mengungkapkan, penggunaan instrumen trade remedies (anti dumping, anti subsidi, safeguard) perlu dilakukan secara masif mengingat tarif Most Favoured Nation (MFN) produk baja saat ini telah tereduksi dengan tarif Free Trade Agreement (FTA) sampai dengan 0%. Maka itu, instrumen trade remedies merupakan palang pintu terakhir yang masih dapat digunakan oleh industri baja nasional untuk mempertahankan eksistensinya dalam melindungi pasar baja dalam negeri dari tindakan perdagangan yang tidak adil (unfair trade).

Industri baja nasional terus berupaya melakukan perlindungan perdagangan yang tidak fair melalui penerapan BMAD atas produk besi dan baja di seluruh wilayah Indonesia. Saat ini masih terdapat kasus-kasus anti dumping yang belum ditetapkan Peraturan Menteri Keuangannya, antara lain anti dumping HRC Korea, Malaysia dan anti dumping CRC RRT, Jepang, Korea, Taiwan, Vietnam. Silmy menambahkan, pengenaan Anti Subsidi (Countervailing Duty) juga perlu diterapkan, khususnya terhadap produk baja dari RRT yang telah membanjiri pasar dalam negeri dengan harga yang sangat murah karena adanya pemberian insentif kebijakan berupa export tax rebate dari Pemerintahnya.

Dukungan penuh dari pemerintah terkait perlindungan dan keadilan, serta kebijakan yang berpihak pada industri baja nasional akan memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional secara berkelanjutan, meningkatkan utilisasi industri baja nasional, menciptakan iklim persaingan yang sehat bagi industri baja domestik, serta dapat mewujudkan kemandirian bangsa dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri.